Pertanyaan dari: Kus Anwaruddin, Sekretaris PC Pemuda Muhammadiyah Tersono, Mangunsari, Tersono, Batang, Jawa Tengah
Pertanyaan:
Sebagai
warga Muhammadiyah walaupun belum punya KTA saya ingin menanyakan
beberapa hal yang selama ini menjadi ganjalan dalam benak saya:
- Bagaimana sikap resmi PP Muhammadiyah mengenai tradisi Upacara Tahlilandalam rangkaian upacara kematian?
- Sebagai warga Muhammadiyah bagaimana sikap saya bila diundang dalam upacara tahlilan yang di dalamnya ada jamuan makanannya? (Biasanya makanan tersebut dikumpulkan oleh warga RT/jamaah lalu diserahkan kepada keluarga yang terkena musibah dan selanjutnya dimakan bersama dalam upacara tahlilan tersebut).
- Apa hukumnya bila saya menghadiri undangan tahlilan tersebut dengan alasan untuk kerukunan sebagai warga masyarakat? (Perlu diketahui bahwa, sepengetahuan saya di daerah saya masih banyak para PCM yang menghadiri undangan tahlilan tersebut).
- Apa pula hukumnya makan bersama dalam perjamuan tahlilan tersebut dengan alasan yang meninggal dunia tidak punya anak yatim / anaknya sudah dewasa dan sudah berkeluarga semua serta makanan tersebut berasal dari para jamaah tahlil yang hadir/dari warga RT? (Biasanya hal ini sudah menjadi program RT).
Saya
sangat mengharapkan atas jawaban yang memuaskan dan disertai dalil-dalil
yang sohih sehingga sebagai warga Muhammadiyah saya tidak ragu-ragu
dalam melaksanakan ibadah yang sesuai dengan ajaran Rasulullah saw.
Atas jawabannya saya ucapkan terima kasih.
Jawaban:
Sebelumnya
perlu kami sampaikan bahwa pertanyaan yang saudara sampaikan sudah
sangat sering ditanyakan dan sekaligus dijawab dalam rubrik fatwa agama
ini. Di antaranya adalah seperti yang ditanyakan oleh Saudara Ruslan
Hamidi, Moyudan, Sleman (SM No. 11 Th. Ke-88/2003), Ferry al-Firdaus,
Cilawu Garut (SM No. 24 Th. Ke-90/2005) Tamrin Mobonggi, Limbato,
Gorontalo (SM No. 3 Th. Ke-92/2007). Saudara dapat membaca secara
lengkap dalam edisi-edisi Majalah Suara Muhammadiyah sebagaimana yang
kami sebutkan.
Namun demikian, tidak
ada salahnya kami jelaskan kembali secara ringkas tentang persoalan
tahlilan tersebut, agar saudara dapat lebih mudah memahaminya.
Jika
yang dimaksudkan tahlil adalah membaca “La Ilaha illa Allah” (tiada
Tuhan selain Allah), Muhammadiyah tidak melarang, bahkan menganjurkan
agar memperbanyak membacanya, berapa kali saja, untuk mendekatkan diri
kepada Allah SWT. Dalam al-Qur`an disebutkan:
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلاَ تَكْفُرُونِ
Artinya: “Karena
itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat pula kepadamu, dan
bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari nikmat-Ku.” [al-Baqarah (2):152]
Disebutkan
pula pada ayat-ayat lain seperti QS. al-Ahzab (33): 41, QS. al-An’am
(6): 19, QS. al-Ikhlas (112): 1-4, QS. Muhammad (47): 19.
Perintah berzikir dengan menyebut Lafal Jalalah (La Ilaha illa Allah) dalam hadits-hadits pun banyak diungkapkan, misalnya hadits riwayat Abu Hurairah:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَال: مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ فِي يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ كَانَتْ لَهُ عَدْلَ عَشَرَ رِقَابٍ وَكُتِبَتْ لَهُ مِائَةُ حَسَنَةٍ وَمُحِيَتْ عَنْهُ مِائَةُ سَيِّئَةٍ وَكَانَتْ لَهُ حِرْزًا مِنَ الشَّيْطَانِ يَوْمَهُ ذَلِكَ حَتَّى يُمْسِيَ وَلَمْ يَأْتِ أَحَدٌ أَفْضَلَ مِمَّا جَاءَ بِهِ إِلاَّ أَحَدٌ عَمِلَ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ وَمَنْ قَالَ سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ فِي يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ حُطَّتْ خَطَايَاهُ وَلَوْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْحَرِّ.
Artinya: Diriwayatkan dari Abi Hurairah; Bahwa Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa mengucapkan ‘La ilaha illa Allah wahdahu la syarika lahu lahul-mulku wa lahul-hamdu wa huwa ‘ala kulli syai`in qadir’,
dalam satu hari sebanyak seratus kali, maka (lafal jalalah tersebut)
baginya sama dengan memerdekakan sepuluh hamba sahaya, dan dicatat
baginya seratus kebaikan, dan dihapus daripadanya seratus kejahatan, dan
lafal jalalah tersebut baginya menjadi perisai dari syaitan selama satu
hari hingga waktu petang; dan tidak ada seorang pun yang datang (dengan
membawa) yang lebih afdal, daripada apa yang ia bawa (ucapkan), kecuali
orang yang mengerjakan lebih banyak dari itu. Dan barangsiapa
mengucapkan ‘subhana-llah wa bi hamdih’ (Allah Maha Suci dan
Maha Terpuji) dalam satu hari sebanyak seratus kali, maka dihapus
kesalahan-kesalahannya, sekalipun seperti buih air panas yang mendidih.” [Diriwayatkan oleh Muslim, Kitab az-Zikr, Bab Fadlut-Tahlil, No. 28/2691]
Disebutkan pula pada hadits-hadits lain seperti hadits riwayat al-Bukhari dari ‘Itban ibn Malik, dalam Shahih al-Bukhari, Kitab as-Shalah (420), Bab al-Masajid fi al-Buyut dan hadits riwayat Muslim dari Abu Hurairah, dalam Shahih Muslim, Kitab az-Zikr, Bab Fadlut-Tahlil, No. 32/2695.
Ayat-ayat al-Qur`an dan hadits-hadits tersebut memberikan pengertian bahwa memperbanyak membaca tahlil adalah
termasuk amal ibadah yang sangat baik, sehingga mereka yang
memperbanyak tahlil dijamin masuk surga dan haram masuk neraka. Tentu
saja tidaklah cukup hanya mengucapkannya, atau melafalkannya saja,
melainkan harus menghadirkan hati ketika membacanya, dan
merealisasikannya dalam kehidupan keseharian. Yaitu dengan memperbanyak
amal shalih dan meninggalkan segala macam syirik. Jika masih berbuat
syirik, dan tidak beramal shalih, sekalipun membaca tahlil ribuan kali,
tidak ada manfaatnya. Maka yang sangat penting sebenarnya ialah bahwa
tahlil itu harus benar-benar diyakini dan diamalkan dengan berbuat amal
shalih sebanyak-banyaknya.
Maka yang
dilarang menurut Muhammadiyah adalah upacaranya yang dikaitkan dengan
tujuh hari kematian, atau empat puluh hari atau seratus hari dan
sebagainya.
Selamatan
tiga hari, lima hari, tujuh hari, dan seterusnya itu adalah sisa-sisa
pengaruh budaya animisme, dinamisme, serta peninggalan ajaran Hindu yang
sudah begitu berakar dalam masyarakat kita. Karena hal itu ada hubungan
dengan ibadah, maka kita harus kembali kepada tuntunan Islam. Apalagi,
upacara semacam itu harus mengeluarkan biaya besar, yang kadang-kadang
harus pinjam kepada tetangga atau saudaranya, sehingga terkesan tabzir
(berbuat mubazir). Seharusnya, ketika ada orang yang meninggal dunia,
kita harus bertakziyah/melayat dan mendatangi keluarga yang terkena
musibah kematian sambil membawa bantuan/makanan seperlunya sebagai wujud
bela sungkawa. Pada waktu Ja’far bin Abi Thalib syahid dalam medan
perang, Nabi saw menyuruh kepada para shahabat untuk menyiapkan makanan
bagi keluarga Ja’far, bukan datang ke rumah keluarga Ja’far untuk makan
dan minum.
Perlu
diketahui pula, bahwa setelah kematian seseorang, tidak ada tuntunan
dari Rasulullah saw untuk menyelenggarakan upacara atau hajatan. Yang
ada adalah tuntunan untuk memberi tanda pada kubur agar diketahui siapa
yang berkubur di tempat itu (HR. Abu Dawud dari Muthallib bin Abdullah,
Sunan Abi Dawud, Bab Fi Jam’i al-Mauta fi Qabr …, Juz 9, hlm. 22),
mendoakan atau memohonkan ampun kepada Allah SWT (HR. Abu Dawud dari
‘Utsman ibn ‘Affan dan dinyatakan shahih oleh al-Hakim, Sunan Abi Dawud,
Bab al-Istighfar ‘inda al-Qabr lil-Mayyit …, Juz 9, hlm. 41) dan
dibolehkan ziarah kubur (HR. Muslim dari Buraidah ibn al-Khusaib
al-Aslami, Bab Bayan Ma Kana min an-Nahyi …, Juz 13, hlm. 113).
Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan :
Sebagai
warga Muhammadiyah sikap yang harus diambil adalah menjauhi atau
meninggalkan perbuatan yang memang tidak pernah dituntunkan oleh
Rasulullah saw dan sekaligus memberikan nasehat dengan cara yang ma’ruf
(mauidlah hasanah) jika masih ada di antara keluarga besar Muhammadiyah
pada khususnya dan umat Islam pada umumnya yang masih menjalankan
praktek-praktek yang tidak dituntunkan oleh Rasulullah saw tersebut.
Dalam
menjaga hubungan bermasyarakat, menurut hemat kami tidaklah tepat jika
tolok ukurnya hanya kehadiran pada upacara/hajatan kematian. Namun,
kegiatan-kegiatan kemasyarakatan lain, seperti rapat RT, kerja bakti,
ronda malam (siskamling), takziyah dan lain-lain juga perlu mendapat
perhatian. Dengan aktif mengikuti kegiatan-kegiatan tersebut, insya
Allah, ketika kita hanya meninggalkan satu kegiatan saja
(tahlilan/hajatan tersebut) tidak akan membuat kita dijauhi oleh
masyarakat di mana kita tinggal.
Mengenai
makan dan minum pada perjamuan tahlilan, sekalipun makanan dan minuman
tersebut berasal dari para warga RT, namun tetap saja dapat digolongkan
pada perbuatan tabzir, sehingga layak untuk ditinggalkan.
Wallahu a’lam bish-shawab
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
===============================
Sumber : Fatwa-fatwa Majelis Tarjih PP Muhammadiyah
Sumber : www.sangpencerah.com
Sumber : Fatwa-fatwa Majelis Tarjih PP Muhammadiyah
Sumber : www.sangpencerah.com